BANYAK yang berpenampilan
indah tetapi terhina, sebab dia tidak punya kesabaran. Banyak orang
yang akhirnya merugi, padahal dia memiliki modal. Apa sebabnya? Dia
tidak mempunyai kesabaran. Banyak orang yang tergelincir ketika dilanda
asmara dan tidak sabar, akibatnya ia merasakan sakit. Alangkah indahnya
orang-orang yang diberi kesabaran.
Innallaha ma'ash shaabiriin. Sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah [2]:153).
Sabar itu pahalanya insya Allah
tiada terputus. Maka, sungguh aneh jika kita ingin dekat dengan Allah,
ingin indah, ingin berpahala, ingin bahagia tetapi tidak sabar. Sabar
itu kunci. Kalau kita bersabar, kita akan memiliki pribadi yang indah.
Kalau selalu sabar, kita akan menjadi orang yang dekat dengan Allah dan insya Allah ganjaran kita tiada terputus.
Setidaknya
ada tiga hal yang memerlukan kesabaran kita dalam hidup ini. Yang
pertama, sabar ketika berkeinginan. Setiap hari kita selalu dituntun
oleh keinginan. Kalau kita tidak sabar, keinginan inilah yang akan
menjerumuskan kita. Jadi, sabar yang pertama adalah meluruskan niat
ketika kita punya keinginan.
Kita
dikarunia Allah keinginan. Keinginan itulah yang menuntun sikap; kalau
tidak sabar, kita kehilangan niat. Padahal niat adalah kunci agar amal
diterima. Ada orang yang lelah pontang-panting, tetapi tidak ada
nilainya. Mengapa? Dia tidak sabar meluruskan niat. Maka, sebelum
beramal, wajib bagi kita untuk meluruskan niat. Tanpa niat, amal menjadi
sia-sia.
Terkadang,
seseorang tidak sibuk meluruskan niat. Akan tetapi ia sibuk dengan
perbuatannya. Misalnya, ia ingin membeli pakaian. Kita harus bertanya
dulu pada diri sendiri, "Perlukah saya membeli pakaian lagi, padahal di
lemari masih banyak pakaian?", "Untuk Apa?", "Tapi kan ini warnanya
kurang cocok. Kurang cocok kata siapa?"
Untuk apa memberatkan hisab,
kalau pakaian indah, tetapi kelakuan tidak indah? Tidak ada gunanya.
Ketika akan membeli, tanyakan lagi pada diri kita, "Benarkah kita
membeli sesuatu itu karena Allah atau karena ingin dipuji?”
Ingin
menikah? kita harus sabar untuk mengevaluasi dulu. Kumpulkan informasi
dan studi kelayakan. Sudah layakkah kita menikah? Jangan tergesa-gesa,
renungkan dalam-dalam, kumpulkan informasi selengkap mungkin.
Bertanyalah kepada yang ahli, sebab kalau kita sudah punya keinginan,
itu biasanya nafsu. Hati-hati, nafsu akan membutakan kita dari
kebenaran. Kita harus sabar untuk bertanya, "Benarkah niat saya ini?
Betulkah tujuan saya? Mintalah petunjuk kepada Allah dengan shalat istikharah.
Lalu, hal kedua yang harus kita miliki adalah sabar berproses. Kita biasanya tidak sanggup untuk berproses. Kita harus menikmati proses, bukan hasil. Dari proses itu, insya Allah akan berbuah pahala.
Kesabaran
yang ketiga adalah sabar ketika telah mendapat hasilnya. Hasil itu ada
dua jenis, yaitu gagal dan sukses. Keduanya butuh kesabaran. Sudah niat
ingin kerja, ikhtiar melamar ke sana-sini, kita harus sabar jika kita
belum diterima. Setiap langkah kita insya Allah ada pahalanya. Mungkin memang belum ada rezekinya di sana, kita tidak usah sibuk mengeluh.
Lalu
rezekinya di mana? Mungkin memang rezeki kita bukan jadi seorang
pekerja tetapi menjadi seorang pengusaha yang menjadi direktur utama,
merangkap direktur inti dan karyawan tunggal.
Ikhwan
sudah melamar lalu ditolak. Apakah dia gagal? Tidak! Justru
keberhasilannya adalah ditolak. Ini berarti dia mempunyai pengalaman
ditolak. Misalnya, dia sudah pernah ditolak tiga kali. Dengan begitu,
dia sudah berpengalaman menghadapi tiga jenis calon mertua. Harus sabar
menghadapinya karena mungkin belum menjadi jodohnya. Niatnya untuk
melamar, sudah menjadi amal. Perjalanannya, usahanya untuk bicara
baik-baik dengan calon mertua sudah menjadi amal. Bila kemudian hasilnya
ditolak, -- jika kita sabar -- maka menjadi nilai amal juga.
Kegagalan
itu adalah ketika kita tidak sabar menghadapi sesuatu hal yang tidak
sesuai dengan keinginan kita. Kita punya rencana, Allah juga punya. Yang
akan terjadi adalah rencana Allah, kenapa Allah menakdirkan sesuatu
lalu kita anggap gagal? padahal itu yang terbaik.
Tidak
heran seseorang dibimbing Allah dengan sakit, penolakan, hinaan, semua
itu bisa menjadi sebuah jalan bagi dia untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Oleh karena itu, kita harus sabar menghadapi sesuatu yang tidak cocok dengan keinginan kita.
Tawakal
Ada
sebuah cerita tentang seorang Baduwi yang meninggalkan untanya saat
beristirahat di suatu tempat, tanpa mengikatkan talinya pada sebuah
tiang. Singkat cerita, saat ia kembali untuk melanjutkan
perjalanan, ternyata untanya tidak berada di tempat semula. Kontan saja
ia panik setengah mati. Orang-orang sekitar mengerumuninya karena suara
yang memekik memanggil unta yang kabur. "Untaku... untaku...! Ke mana untaku...?"
Sambil
mencari ke sana-sini, ia meyakinkan dirinya bahwa terakhir kali ia
melihat untanya di halaman bersama unta-unta lainnya. Ia yakin bahwa ia
telah mempercayakan untanya pada Allah. Ia yakin untanya tak akan kabur
karena Allah yang akan menjaganya. Oleh karena itu, ia tidak berusaha
untuk mengikatkan talinya pada tiang yang telah tersedia sebab ia merasa
telah menyerahkan segalanya pada Allah SWT. Atau lebih dikenal dengan
istilah tawakal.
Apakah
sikap tawakal orang Baduwi seperti itu benar? Keyakinan kuat tanpa
diiringi ikhtiar adalah kurang sempurna. Demikian pula ikhtiar maksimal
tanpa keyakinan hati kepada Allah adalah sia-sia. Tawakal yang benar
adalah didasari oleh keyakinan kepada Allah bahwa Allah-lah yang
mengatur segalanya dan disempurnakan dengan ikhtiar maksimal. Allah yang
mengatur rezeki. Maka manusia harus berusaha untuk mendapatkannya
dengan cara yang benar. Semua nikmat yang telah Allah berikan harus
disyukuri dan hanya kepada-Nya orang-orang beriman bertawakal (Q.S.
Al-Maaidah [5 ]: 11).
Adanya
kemampuan untuk ikhtiar, merupakan nikmat besar yang telah Allah
berikan. Sesungguhnya, Allah telah menetapkan ketentuan untuk segalanya.
Allah tidak akan menguji seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Salah satu tanda kemuliaan seseorang adalah, adanya keikhlasan dalam
melakukan sesuatu, dan disempurnakan dengan ikhtiar. Selanjutnya, ia
menyerahkan segala usaha dan urusannya kepada Allah. Itulah tawakal yang
sebenarnya.
Bertawakal
kepada Allah dengan sepenuh hati tidak dilarang. Bertawakallah selalu
kepada-Nya dengan syarat ia ikhlas dan melakukan ikhtiar. Bukan sikap
tawakal seperti kisah Baduwi tadi. Tawakal tetapi tidak berusaha dan
hanya ongkang-ongkang kaki mengharapkan hasil yang memuaskan, bukanlah
sikap mukmin sejati. Tawakal seperti itu identik dengan pasrah tanpa
melakukan apa-apa! Wallahu a'lam bishawaab.***
Penulis : K.H. Abdullah Gymnastiar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar